Rabu, 25 Juli 2012

Berbahasa Indonesia

Segala teknik silat Perisai Diri ditulis dalan bahasa Indonesia yang baku . Hal itulah yang menjadikan Perisai Diri lebih mudah diterima oleh kalangan terdidik seperti mahasiswa. Penulisan teknik dalam bahasa Indonesia baku sebenarnya harus diakui sebagai langkah maju tersendiri dibandingkan perguruan lain yang masih berkutat dengan bahasa daerah asal perguruan itu berkembang.

Bahkan dengan nasionalismenya itu, Perisai Diri akhirnya bisa diterima di semua kalangan beragam suku, agama, maupun strata sosial. Dapat dipelajari oleh seluruh penduduk Indonesia yang tinggal di 17.000 pulau.

Motto Perisai Diri  “Pandai Bersilat Tanpa Cedera” yang juga bermakna pandai beladiri tanpa cedera, makin membuat beladiri ciptaan Pak Dirdjo bisa dipahami dengan logika. Pecinta beladiri akan mengerti bahwa seorang ahli beladiri memang sulit untuk dicederai lawan. Bisa juga berarti dalam berlatih pun ia tidak akan cedera karena kesalahan sendiri.

Unsur kecepatan dalam beladiri menjadi pegangan Pak Dirdjo. Ia mewajibkan para muridnya mampu melakukan gerakan silat minimal dua gerak dalam satu detik. Gerakan itu bisa berupa serangan, hindaran, tolakan, tebangan, ataupun paduan unsur-unsur itu. Jadilah Perisai Diri menciptakan gaya silat SATU DETIK DUA GERAK.

Istilah satu detik dua gerak itu semula dianggap sepele oleh banyak pendekar maupun pecinta silat. Akan tetapi semakin mereka banyak menyaksikan  pertandingan silat yang mulai digelar sejak 1970-an, para pendekar silat  maupun pecandu beladiri lain semakin memahami misteri kata  “satu detik dua gerak” tersebut. Hanya seorang ahli beladiri nan piawai saja yang mampu bergerak secepat  itu.

Sementara diakui atau tidak, nama-nama teknik silat Perisai Diri kini sudah diadopsi di kancah persilatan. Istilah tendangan Sabit, kemudian tendangan T (baca TE), bahkan sapuan;  misalnya,  sudah menjadi bukti bahwa keinginan Pak Dirdjo terwujud. Istilah itu dipakai di dunia persilatan. Bila kemudian ada beberapa perguruan baru muncul dengan menggunakan teknik Perisai Diri, itupun tidak pernah dipermasalahkan. Mungkin, para murid Pak Dirdjo pun --  tanpa setahu mereka --, kini memiliki lebih banyak saudara perguruan karena menyerap ilmu yang sama dengan nama perguruan yang berbeda.

Ada 19 macam teknik tangan kosong yang disebut teknik asli di Perisai Diri seperti Jawa Timuran, Minangkabau, Betawen, Cimande, Burung Mliwis, Burung Kuntul, Burung Garuda, Kuda Kuningan, Lingsang, Harimau, Naga, Satria Hutan, Satria, Pendeta, Putri Bersedia, Putri Sembahyang, Putri Berhias, dan Putri Teratai.

Bukan melulu teknik tangan kosong, para murid pun diajari berbagai senjata mulai dari pisau, pedang, toya, senjata lempar, sampai dengan pengembangan dari senjata-senjata itu seperti rantai, cambuk, tombak, dan lain-lainnya.

Pak Dirdjo selalu berpesan kepada murid-muridnya agar menguasai ilmu silat haruslah dengan cara mendaki dan memanjat, bukan dengan melompat. Untuk memahami ilmu silat memang memerlukan kerajinan, ketekunan, kesungguhan, dan disiplin.

Pak Dirdjo wafat usia 70 tahun,  ditunggui para muridnya di Surabaya pada 9 Mei 1983. Pada tahun 1986, beliau mendapat gelar Pendekar Purna Utama dari Pemerintah Republik Indonesia .

Niat Pak Dirdjo untuk mengembangkan silat akhirnya tercapai juga. Meskipun ia belum bisa menikmati kejayaan murid-muridnya di arena beladiri silat, namun secara pasti teknik Perisai Diri ciptaannya telah merajai di beberapa pertandingan silat secara internasional.

Nama-nama seperti Joko Widodo, Herina (asal Yogyakarta), Tony Widya (Jakarta),  Tri Wahyuni (Malang), Wadiah (Mataram), Suryanto, Samiaji (Bandung), A Triya (Surabaya),  mampu malang melintang di kejuaraan internasional pencak silat sejak kejuaraan internasional itu digelar tahun 1987 hingga 1995.

Keharuman nama Perisai Diri masih dilanggengkan oleh pesilat  Made Arya Damayanti, Ayu Ariati, Ni Nyoman Suparniti, dan I Nyoman Yamadhiputra ( Bali ) pada periode 1995 - 2005. Arena nasional hingga dunia mereka jelajahi dengan teknik Perisai Diri dengan memperoleh medali emas.

Pendekar pendobrak tradisi tabu itu pula yang akhirnya mampu meyakinkan orang-orang Eropa seperti Belanda (1970), Jerman (1983), Inggris, Swiss (1999), Hongaria,  Australia (1979), Amerika Serikat (2000), Thailand (1995), Filipina (1995),  bahkan Jepang (1996)  untuk mempelajari Silat Perisai Diri. Silat mudah diterima, bisa dilogika. Silat sudah mendunia.

Lagi-lagi, di luar Indonesia, murid-murid Pak Dirdjo di Eropa, Amerika, dan Australia mampu menunjukkan bahwa beladiri khas Indonesia itu mampu mengibarkan benderanya di pertarungan antar-aliran beladiri di sana.

Tidak mengherankan jika penulis aliran beladiri seperti Donn F Draeger menulis silat Perisai Diri dalam bukunya The Weapons and Fighting Arts of Indonesia pada tahun 1972. Akan tetapi ia belum puas. Jika dalam buku pertamanya ia menulis  beberapa gaya perguruan pencak silat di Indonesia; maka ia kembali mengupas lebih dalam untuk silat Perisai Diri pada buku keduanya yang berjudul: Javanese Silat: The Fighting Art of Perisai Diri pada tahun 1978.

Penjelasan secara detil disertai bukti praktik dalam bersilat yang ditunjukkan Pak Dirdjo yang membuat Draeger bertekuk-lutut mengakui bahwa Perisai Diri memang layak mendapat tempat khusus. Foto-foto Pak Dirdjo dalam bersilat ditemani para muridnya di Surabaya memenuhi halaman buku keduanya tersebut.

Tidak berlebihan jika saat ia dipanggil Tuhan Yang Maha Esa, jumlah muridnya yang tersebar di Indonesia dan beberapa negara telah mencapai 50.000 lebih sehingga menempatkan Perisai Diri sebagai salah satu perguruan besar di antara 800 perguruan silat di Indonesia. (***)

0 komentar:

Posting Komentar

POSTINGAN TERPOPULER

 
Design by Free WordPress Themes | Bloggerized by Lasantha - Premium Blogger Themes | Best WordPress Themes